Setelah
menjalani perkuliahan yang memacu saraf simpatis ku, ternyata stimulant dari
perkuliahan itu tetap membuatku takut untuk menjalani liburan ini. Pikiran
positif hasil OSCE untuk remed pun menghantuiku setiap saat. Melihat kucing,
memandang langit, duduk di kursi, melihat asbak, apalagi melihat kartu OSCE yang
tertempel foto ku pun seolah-olah adalah penguji yang sedang menjelma. Ekspresi
penguji menempel erat di pikiranku. Entah apa yang dilakukan penguji tersebut
seakan-akan seperti tokoh antagonis di sebuah film. Sebuah memori disimpan
dengan mempercabangkan dendrit dari sebuah nukleus, apabila memori itu kuat
maka percabangannya semakin besar. Apakah dosen penguji itu telah membuat
percabangan dendritku dengan ukuran XXXL? Aapalgi suara bel penanda pindah
stase, ditambah ucapan penguji “dek sudah selesai dek”, pelan lembut tapi
tajem! Padahal ketika itu, aku sedang memasukkan kateter yang baru sampai 1/3
uretra, langsung saya tinggal lari ke ruang stase berikutnya, deg-degan, disisi
lain kasihan sama manekinnya. Maklum
masih tahun pertama di kedokteran, segala ekspektasi harus dilambungkan
tinggi-tinggi, nah lupa kalau jatuh makin sakit. Oleh sebab itu, selesai OSCE
aku memikirkan berbagai cara untuk merefresh jiwa raga setelah bertempur di
ruang OSCE. Salah satu jalan untuk membuatku lebih tenang adalah menghabiskan
uang untuk menongkrong di suatu tempat, memesan caffe latte dengan extra double
shot.
Selama aku
hidup, aku dikenalkan kafein ketika memasuki kelas 12. Tugas yang amat banyak, motivasi
masuk PTN, les hingga larut malam, dan segala tekanan hidup seperti tuntutan
menghitung tekanan “P” dengan printilan angka sansekerta berhasil mengutuk
mental ku menjadi mental breakdance. Hal itu telah memacuku dan memaksa tubuhku
untuk terus bekerja. Disaat itulah aku butuh paksaan berupa stimulan dari
kafein. Zat yang dalam buku harper katanya, dapat menghambat suatu penghambat
dari proses pemecahan lemak Jadi intinya
aja deh, si kafein ini dapat memacu proses pemecahan lemak. Ini sih berita baik
bagi kaum gembrot seperti saya, TAPI kalau minumnya gak pakai gula, brown
sugar, caramel, ditambah whipping cream kaya di café café. Kafein juga punya
status sosial yang masuk ke geng namanya methyl xanthine, kelompok senyawa yang
bisa bikin saraf kita bangun alias stimulan. Kafein sudah membantuku dalam
pencapaian threshold produktivitas semenjak SMA. Beliau bagaikan motivator yang
selalu mengatakan “BELAJAR ATAU MATI?!” langsung bangun, otakku yang hampir
menguap seketika berubah bentuk menjadi otak Einstein lalu tidak lama si otak
berubah lagi menjadi otak ayam, lalu sruput lagi, berubah lagi. Jadi begitulah
siklusnya.
Jujur saya berterimakasih dengan senyawa ini,
tapi semakin lama hubunganku dengan senyawa hits ini semakin erat. Aku ingat
dengan perkataan guru Bahasa jawa ku dikala sela-sela mengajar, yaiku, “kalau
kita berteman jangan terlalu dekat banget tapi jangan terlalu jauh banget,
biasa-biasa saja”. Baiklah akhirnya aku aplikasikan quotes beliau dikehidupan
nyataku dan tetap tidak bisa berbahasa jawa. Aku memikirkan strategi gimana
caranya aku bisa sedikit menjauhi si kafein ini tanpa sepengetahuan dia agar
bisa menjaga perasaannya, si kafein, bukan guru Bahasa jawa. Agak ragu
sebenarnya, dia seperti motivator melebihi acara jalur emas golden way. Ketika
aku lesu, pasti yang kuingat kopi, kopi, dan kopi. Gak punya motivasi belajar,
yang kuingat yaaaaaaaaaaaaa kamu. Bukan kamu yang baca, tapi kopi, dia gak bisa
baca. Sekian lama dengan kafein, terasa
berubah rasanya. Lama-lama aku jadi selalu meng-kambinghitam-kan “tidak minum
kopi” sebagai alasan males mengerjakan tugas. Padahal, kalau sudah diberi kopi,
tetap aja gak produktif. Jadi merenung deh aku, “selama ini motivasi itu
datangnya darimana? Masa iya dari secangkir cairan yang mengandung kafein?”.
Ternyata, motivator utama dalam hidupku adalah diriku dan pikiranku sendiri.
Motivasi dari dalam itu ternyata penting, bisa kita munculkan dengan memikirkan
tujuan awal kamu mulai melangkah, orang-orang yang mendukung perjuanganmu dan yang
mengharapkan kesuksesanmu, dan keuntungan-keuntungan lain jika kamu berusaha.
Motivasi dari luar enggak akan mempan kalau bukan dari kita sendiri, yang
menjalankan tubuh kita untuk melakukan sesuatu. Memang sebuah hasil yang nyata
itu bukan berasal dari ramalan hidup garis telapak tangan, apalagi kaki. Takdir
akan menjadi apa itu pilihan kita sendiri. Tuhan pasti akan membantu, kalau
juga ada usaha pastinya. Jadi, lakukan yang terbaik disetiap waktu, karena
waktu itu terus berjalan, mau menahan jarum jam pun tetap aja waktu akan terus
berlari sampai kita kehabisan waktu.
0 komentar:
Posting Komentar